BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Remaja merupakan sumber daya
manusia yang menjadi modal utama setiap bangsa yang ada di dunia untuk mencapai
cita-cita dan masa depan bangsa. Remaja diharapkan dapat belajar dan menimba
ilmu dengan baik agar mendapatkan sumber daya manusia yang berkualitas. (Tiara,
2013:1).
Pada masa
remaja seharusnya mereka memahami
berbagai proses perubahan yang terjadi dalam dirinya. Namun, keterbatasan kemampuan
berpikir dan kurang
informasi membuat mereka
sulit untuk memahami berbagai
proses perubahan yang
terjadi dalam diri
mereka. Termasuk di dalamnya adalah perubahan intelektual yang lebih dalam
berpikir. Perubahan intelektual dari cara berpikir remaja inilah yang
memungkinkan untuk mencapai integrasi dalam hubungan sosialnya dengan orang
dewasa, yang merupakan ciri khas yang umum dari periode perkembangan. Piaget (dalam
Hurlock 1980 : 206).
1
|
Banyak
kalangan remaja saat ini melakukan tindakan menyimpang yang diluar batas
dirinya.
Hal ini dikarenakan cepatnya mengakses informasi di berbagai belahan dunia
membuat dunia ini seolah semakin sempit, dan akibatnya menimbulkan adanya
pergeseran perilaku pada individu, kelompok dan masyarakat dalam lingkungan
sosialnya. (http://www.pelita.or.id/baca. php? id= 39750, diakses pada tanggal 28 november 2014 Pukul 22.40 WIB).
Ketika hal ini terjadi, salah satu
kelompok yang paling rentan untuk ikut serta terbawa arus adalah para remaja. Dalam
persfektif psikologi juga mengatakan, masa remaja merupakan masa yang kritis. Kenapa demikian karena pada masa remaja
mengalami masa transisi atau peralihan dari masa anak-anak menuju masa
kedewasaan yang sering ditandai dengan adanya krisis kepribadian.
Perubahan-perubahan fisik dan psikis yang sangat cepat menyebabkan
kegelisahan-kegelisahan internal, misalnya timbulnya rasa tertekan, dorongan
untuk mendapatkan kebebasan, goncangan emosional, rasa ingin tahu yang
menonjol, adanya fantasi yang berlebihan, ikatan kelompok yang kuat, dan krisis
identitas. (Kartono (1992 : 66).
Masyarakat yang memiliki kepadatan
penduduk tinggi dengan kebudayaan sosial yang berbeda serta memiliki angka
kemiskinan yang cukup tinggi dan sangat minimnya fasilitas fisiknya, ditambah
dengan banyaknya kasus penyimpangan
dan pengangguran yang dapat memberikan tekanan-tekanan tertentu, dapat
memberikan rangsangan kuat kepada anak untuk menjadi jahat. (Soekanto, Soejono.
1996 dalam Julianti, 2012:2). Kehidupan di wilayah-wilayah yang padat
penduduknya biasanya ditandai dengan adanya saling mempengaruhi, termasuk di dalamnya
adanya pengaruh buruk dari lingkungan.
Pengaruh yang buruk itulah yang
dapat membawa remaja ke
hal-hal yang tidak baik, seperti penyalah gunaan lem banteng. Sesuatu yang melanggar norma-norma yang ada di dalam masyarakat
ini sangat
menarik perhatian, begitu juga dengan remaja saat ini. Dimana saat ini marak
terjadi dalam lingkungan masyarakat, penyalah gunaan lem banteng bagi remaja, padahal lem banteng kegunaan
nya sudah jelas untuk menempel barang-barang yang telah rusak, tetapi remaja
pada saat ini malah menggunakan lem banteng untuk mabuk-mabukan, Perilaku anak remaja
yang nyata bersifat melawan hukum dan anti sosial tersebut pada umumnya tidak
disukai oleh masyarakat, sehingga hal ini dapat dikatakan menjadi suatu prilaku menyimpang. (Sudarso, 1995 dalam
Julianti, 2012:3).
Berdasarkan pemaparan di atas
terlihat bahwa penyalah gunaan
lem banteng adalah semua tindakan
yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku dalam suatu sistem sosial dan
menimbulkan usaha dari pihak yang berwenang untuk memperbaiki perilaku
menyimpang tersebut. Perilaku menyimpang juga sering disebut sebagai suatu
penyakit dalam masyarakat atau penyakit sosial. Penyakit sosial tersebut dapat
diartikan sebagai segala tingkah laku yang dianggap tidak sesuai, melanggar
norma-norma umum, adat-istiadat, hukum formal, atau tidak bisa diintegrasikan
dalam pola tingkahlaku umum.
Disebut sebagai penyakit sosial
masyarakat karena gejala sosial tersebut meresahkan masyarakat sehingga menimbulkan
suatu masalah sosial. (Nurseno, 2009). Demikian masa remaja meliputi
pertumbuhan, perkembangan, kematangan, dan perubahan yang berlangsung secara
bertahap dari masa sebelumnya. Oleh karena itu, untuk menjalani masa tersebut
sering sekali remaja terjerumus ke dalam hal-hal yang tidak baik atau
menyimpang.
Bertitik tolak dari latar belakang
di atas mendorong peneliti untuk melakukan penelitian dengan judul: “Prilaku Menyimpang, Penyalah gunaan lem banteng bagi Remaja di
Desa Simpang
tutup
Kecamatan Gunung
Kerinci Kabupaten Kerinci”.
B.
Fokus
Penelitian
Berdasarkan
latar belakang permasalahan di atas, pertanyaan peneliti ini sebagai berikut.
1. Apa
dampak
perilaku menyimpang, penyalah
gunaan lem banteng bagi remaja di Desa Simpang Tutup. Kec. Gunung Kerinci. Kab. Keb. Kerinci.
2. Apa
faktor penyebab terjadinya
prilaku menyimpang, penyalah gunaan lem banteng bagi
remaja di Desa Simpang
Tutup.
Kec. Gunung Kerinci.
Kab. Kep. Kerinci
C.
Tujuan
Penelitian
1. Mengungkap
dampak
perilaku menyimpang, penyalah
gunaan lem banteng bagi remaja di Desa Simpang Tutup Kec. Gunung Kerinci. Kab. Kerinci.
2. Mengetahui
deskripsi faktor-faktor penyebab terjadinya perilaku menyimpang, penyalah gunaan lem banteng bagi
remaja di Desa Simpang
Tutup
Kec. Gunung Kerinci.
Kab. Kerinci.
D.
Manfaat
Penelitian
1. Secara Akademis
a. Memenuhi
salah satu syarat dalam menyelesaikan studi dan memperoleh gelar sarjana S1
pada jurusan Pendidikan Sosiologi di STKIP PGRI Sumatera Barat.
b. Untuk
pengembangan dan pengaplikasian dalam materi serta teori-teori sosiologi yang
didapat di bangku kuliah diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat secara umum
dan bagi peneliti pada khususnya.
2. Secara
Praktis
a. Penelitian
ini diharapkan dapat digunakan dalam rangka pengembangan konsep dan teori-teori
yang berkenaan dengan perilaku menyimpang, penyalah gunaan lem banteng bagi
remaja, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berfikir dalam
menganalisis setiap persoalan yang berhubungan dengan perilaku menyimpang, penyalah gunaan lem banteng bagi
remaja dan mencari pemecahan masalahnya.
b. Menambah
wawasan dan referensi bagi peneliti dan pembaca.
BAB II
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
A.
Kajian
Teoritis
Dewasa
ini perkembangan pemberian label yang dikemukakan masyarakat semakin meningkat.
Biasanya label yang dikemukakan masyarakat adalah label yang negatif dan
sasarannya adalah individu yang dianggap menyimpang.
Individu yang rentan
terhadap label adalah remaja, dimana pada masa remaja adalah masa pencarian
identitas dan pada masa ini remaja harus bisa melewati krisisnya agar tidak
terjadi kebingungan identitas. Teori Labeling adalah penyimpangan yang disebabkan
oleh pemberian cap/label dari masyarakat kepada seseorang yang kemudian
cenderung akan melanjutkan penyimpangan tersebut.
(Ahmadi,
2005:297).
Menurut para ahli teori labeling,
mendefinisikan penyimpangan merupakan
sesuatu yang bersifat relatif dan bahkan mungkin juga membingungkan. Karena untuk
memahami apa yang dimaksud sebagai suatu tindakan menyimpang harus diuji
melalui reaksi orang lain.
Oleh karena itu Howard becker (1963)
(dalam Ahmadi, 2005:297) menjelaskan :
“deviasi bukanlah merupakan kualitas
dari perilaku seseorang, namun lebih merupakan konsekuensi dari pelaksanaan
aturan yang ditetapkan oleh kekuasaan dan sanksi yang dijatuhkan. Seorang
deviasi adalah orang yang mendapatkan label dan menjalankan perilaku deviasi
sesuai dengan label yang diberikan orang kepadanya”
6
|
Menurut
Lemert (dalam Sunarto, 2004) menjelaskan :
Teori Labeling adalah penyimpangan yang disebabkan
oleh pemberian cap/label dari masyarakat kepada seseorang yang kemudian
cenderung akan melanjutkan penyimpangan tersebut.
Teori labeling menjelaskan
penyimpangan terutama ketika perilaku itu sudah sampai pada tahap penyimpangan
sekunder (secondary deviance). Dalam penjelasannya teori labeling juga
menggunakan pendekatan interaksionis yang tertarik pada konsekuensi dari
interaksi antara si penyimpangan dan masyarakat biasa (konvensional). Teori ini
tidak berusaha untuk menjelaskan mengapa individu tertentu tertentu tertarik
atau terlibat dalam tindakan menyimpang, tetapi yang lebih ditekankan adalah
pada pentingnya defenisi-defenisi sosial dan sanksi-sanksi sosial negatif yang
dihubungkan dengan tekanan-tekanan individu untuk masuk dalam tindakan yang
lebih menyimpang. Analisi tentang pemberian cap itu dipusatkan pada reaksi
orang lain. Artinya ada orang yang memberi defenisi, julukan, atau pemberi
label (definers/labelers) pada individu atau tindakan yang menurut penilaian
orang tersebut adalah negatif.(Kolip, 2011:240)
B.
Penjelasan
Konseptual
1.
Perilaku
Menyimpang
Perilaku
memiliki pengertian yang luas. Perilaku yang dimaksud adalah segala sesuatu
yang dilakukan atau dialami seseorang. Psikologi memandang perilaku manusia (human
behavior) sebagai “reaksi yang dapat bersifat sederhana maupun bersifat
kompleks” (Azwar 2002 : 9).
Chaplin (1981 : 53)
menerangkan :
perilaku
adalah segala respon (reaksi, tanggapan, jawaban, balasan) yang dilakukan oleh
suatu organism, secara khusus, bagian dari satu kesatuan pola reaksi,
dan suatu perbuatan atau aktivitas.
Perilaku
menyimpang tampaknya juga mempunyai konotasi luas, tergantung pada cara pandang
yang diterapkan. Dalam uraian berikut ini diketengahkan perspektif atau model
berfikir yang umum dikenal dalam ilmu pengetahuan yakni dua model berfikir
yaitu
a. Aliran pemikiran positivisme dan
b. Aliran pemikiran alamiah.
Secara singkat dapat dikatakan, aliran pemikiran
positivisme berakar dari teori August Comte dan Emile Durkheim pada abad ke 19
dan awal abad ke 20. Para positivis dalam mencari pemahaman terhadap fakta dan
penyebab fenomena sosial kurang mempertimbangkan keadaan subyektif individu.
Durkheim menyarankan kepada ahli ilmu pengetahuan sosial untuk mempertimbangkan
fakta sosial atau fenomena sosial sebagai suatu yang memberikan pengaruh dari
luar atau memaksakan pengeruh tertentu terhadap perilaku manusia.
Alamiah bersumber pada pandangan Max Weber yang
diteruskan oleh Irwin Deucher dan lebih dikenal sebagai pandangan “fenomenologis”.
Fenomenologis berusaha memahami perilaku manusia dari segi kerangka berfikir
maupun bertindak orang-orang itu sendiri. Bagi mereka, yang penting ialah
kenyataan yang terjadi sebagai yang dibayangkan atau difikirkan oleh
orang-orang itu sendiri. (Moleong, Lexi 1989:12).
Cara berfikir di atas, juga ikut mewarnai model
berfikir dalam bidang ilmu pengetahuan tentang kejahatan (kriminologi). Dalam
kriminologi pun dikenal aliran-aliran pemikiran yang sedikit banyak menyerupai
paradigma di atas.
Dalam kriminologi dikenal adanya :
a. Aliran
pemikiran kriminologi positivisme dan
b. Aliran
pemikiran kriminologi kritis.
Dua aliran pemikiran dalam kriminologi itu berbeda
dalam melihat atau mengartikan apa yang disebut sebagai kejahatan, termasuk
perilaku menyimpang remaja. Kriminologi positif menganggap perilaku-perilaku
anak atau remaja yang melanggar hukum pidana, dan apabila pelakunya orang
dewasa maka disebut sebagai kejahatan. (Travis Hirschi, 1969:6).
Berangkat atas dasar pemaparan pengertian di
atas maka, perilaku menyimpang adalah perilaku yang tidak sesuai dengan norma-norma
dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Perilaku menyimpang dapat
terjadi pada manusia muda, dewasa, atau tua baik laki-laki maupun perempuan.
Perilaku menyimpang ini tidak mengenal pangkat atau jabatan dan tidak juga
tidak mengenal waktu dan tempat. Penyimpangan bisa terjadi dalam skala kecil
maupun skala besar.
Perilaku menyimpang didefinisikan sebagai perilaku
yang tidak berhasil menyesuaikan diri dengan kehendak masyarakat atau kelompok
tertentu dalam masyarakat. Batasan perilaku menyimpang ditentukan oleh
norma-norma atau nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Suatu tindakan yang
mungkin pantas dan dapat diterima di satu tempat mungkin tidak pantas dilakukan
di tempat yang lain
Jadi dapat disimpulkan bahwa perilaku menyimpang
adalah perilaku manusia yang bertentangan atau tidak sesuai dengan nilai-nilai
atau norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.
2.
Remaja
Istilah remaja secara hukum normatif sulit dicari batasannya.
Istilah yang umum dalam hukum positif ialah belum cukup umur (minderjarijg)
atau belum dewasa. Dua istilah tersebut biasanya dikaitkan dengan batasan umur.
Sayangnya terjadi dualisme pengaturan dalam sistem hukum negeri ini saat
menentukan batasan usia seseorang dikatakan belum dewasa atau belum cukup
umur. (Hadisuprapto, 2004:10)
Istilah
remaja (adolescence) juga berasal dari bahasa latin adolescere yang
berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Adolescence, seperti yang
dipergunakan saat ini mempunyai arti yang luas mencakup kematangan mental,
emosional, sosial dan fisik.
Hal
ini seperti yang diungkapkan oleh Piaget (dalam Hurlock 1980 : 206) dengan
mengatakan “secara psikologis masa remaja adalah usia dimana individu
berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa
dibawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan
yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak. Integrasi dalam masyarakat
(dewasa) kurang lebih berhubungan dengan masa di waktu puber. Termasuk di
dalamnya adalah perubahan intelektual yang lebih dalam berpikir. Perubahan
intelektual dari cara berpikir remaja inilah yang memungkinkan untuk mencapai
integrasi dalam hubungan sosialnya dengan orang dewasa, yang merupakan ciri
khas yang umum dari periode perkembangan.”
Remaja pada akhirnya akan mengalami
perubahan. Mereka akan mengalami perubahan fisik yang sangat pesat dan
perubahan itu juga bersamaan dengan perubahan sikap dan juga perilaku.
Perubahan menyeluruh yang terjadi pada setiap remaja, pertama yaitu emosi yang
meninggi, yang intensitasnya tergantung pada tingkat perubahan fisik dan psikologis.
Kedua adalah perubahan pada fisik, minat dan peran yang diharapkan oleh
kelompok sosial. Ketiga adalah dengan adanya perubahan minat dan pola perilaku,
maka nilai-nilai juga berubah. Terakhir adalah mereka menginginkan dan menuntut
kebebasan namun mereka sendiri lebih sering takut bertanggung jawab akan
akibatnya dan meragukan kemampuan mereka untuk dapat menangani tanggung jawab
yang ada. Seperti yang diungkapkan oleh Kartono (1992 : 66) bahwa
“pada masa adolensi anak mulai menemukan
nilai-nilai hidup baru, sehingga semakin jelaslah pemahaman tentang keadaan
sendiri. Ia mulai bersikap kritis terhadap obyek-obyek di luar dirinya; dan ia
mampu mengambil sintese antara dunia luar dan dunia internal.”
Undang-undang tertentu
menentukan batas usia seseorang belum dewasa bila umurnya kurang dari 21 tahun
(Burgelijk Wetboek, UU No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak), sementara
ketentuan peraturan perundang-undangan lain menentukan batas usia seseorang
belum dewasa adalah dibawah 18 tahun, (UU tentang HAM, UU No. 3 tahun 1997
tentang Pengadilan Anak, UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak).
Kondisi pengaturan perundang-undangan menyangkut anak-anak yang demikian itu
sudah barang tentu akan mempengaruhi langkah-langkah perlindungan hukum bagi
anak-anak pada umumnya dan anak-anak pada khususnya.
Chaplin (1981:12)
menjelaskan definisi remaja
adalah periode antara pubertas dan kedewasaan. Usia yang
diperkirakan : 12-21 tahun untuk anak gadis, yang lebih cepat menjadi matang
daripada anak laki-laki, dan antara 13 hingga 22 tahun bagi anak laki-laki.
Remaja menurut Monks (2006 : 262)
dibagi atas tiga tahapan yaitu remaja awal
usia 12-15 tahun,
remaja pertengahan usia
15-18 tahun, dan
remaja akhir usia 18-21 tahun. Remaja menurut WHO (dalam Sarwono 2011 : 12)
membagi kurun usia menjadi 2 bagian yaitu remaja awal 10-14 tahun dan remaja
akhir 15-20 tahun.
Sedangkan menurut
pandangan dari masyarakat
Indonesia sendiri dalam menentukan definisi remaja secara umum
agak sulit karena Indonesia terdiri dari banyak suku, adat, dan tingkatan
sosial-ekonomi maupun pendidikan. Pedoman yang dipakai adalah batasan usia
remaja 11-24 tahun dan belum menikah. Hal itu dengan adanya
pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut (Sarwono 2011 : 18) :
1. Usia
11 tahun adalah usia ketika pada umumnya tanda-tanda seksual sekunder mulai
tampak (kriteria fisik).
2. Masyarakat
Indonesia menganggap usia 11 tahun sudah akil baligh ,baik menurut adat maupun
agama, sehingga masyarakat tidak lagi
memperlakukan mereka sebagai
anak-anak (kriteria sosial).
3. Pada usia tersebut
mulai ada tanda-tanda
penyempurnaan perkembangan jiwa
seperti tercapainya identitas diri (ego identity, menurut Erick
Erickson), tercapainya fase genital dan perkembangan psikoseksual (menurut
Freud) dan tercapainya puncak perkembangan
kognitif (menurut Piaget)
maupun moral (menurut
Kohlberg) (kriteria
psikologis).
4. Batas usia
24 tahun merupakan
batas maksimal, yaitu untuk
memberi peluang bagi
mereka yang sampai
batas usia tersebut
masih menggantungkan diri pada orang tua, belum mempunyai hak-hak penuh
sebagai 16 orang dewasa (secara adat/
tradisi), belum bisa memberikan pendapat sendiri dan sebagainya.
5. Status
perkawinan sangat menentukan pada definisi di atas, karena arti perkawinan
masih sangat penting
di masyarakat. Seorang
yang sudah menikah, pada usia berapa
pun dianggap dan diperlakukan sebagai orang dewasa penuh, baik secara hukum
maupun dalam kehidupan masyarakat
dan keluarga. Makadari itu definisi remaja di sini dibatasi khusus untuk
yang belum menikah.
Kemudian, Secara psikologis,
Singgih Gunarso (1990:2) mengelompokkan tingkatan usia dikaitkan dengan kondisi
kejiwaan seseorang sebagai berikut :
a. Anak adalah seseorang yang
berumur di bawah 12 tahun.
b. Remaja dini adalah seseorang yang berumur antara 12-15 tahun.
c. Remaja penuh adalah seseorang yang berumur antara 15-17 tahun.
d. Dewasa muda adalah seseorang yang berumur antara 17-21 tahun.
e. Dewasa penuh adalah seseorang yang berumur diatas 21 tahun.
Mempertimbangkan
mengenai “kerancuan” akan pengaturan perundang-undangan yang menyangkut batasan
usia tentang anak, dan mempertimbangkan konsepsi anak menurut kajian ilmu-ilmu
perilaku, maka dalam studi ini remaja adalah seseorang berumur antara 12-21
tahun.
C.
Penelitian
Relevan
Kajian penelitian yang relevan ini
dimaksudkan untuk mengungkapkan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan
oleh peneliti-peneliti terdahulu dan relevan dengan penelitian yang peneliti
lakukan. Hasil penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah:
Hasil
penelitian Paulus Hadisuprapto, 2004. Makna
Penyimpangan Perilaku di Kalangan Remaja. Dalam pembahasannya Pemaknaan
perilaku remaja tehadap perilaku-perilaku mereka pada dasarnya tidak muncul
begitu saja, melainkan wujud dari proses interaksi dan pemodifikasian “nilai”
yang diperoleh dari pelbagai pengalaman hidup mereka di lingkungan keluarga,
teman sebaya dan masyarakat sekitarnya.
Selanjutnya Julianti Siagian, 2012.
Tinjauan Tentang Perilaku Menyimpang
Remaja di Kelurahan Titi Rantai Kecamatan Medan Baru Kota Medan. Suatu
perilaku dikatakan menyimpang apabila perilaku tersebut bertentangan dengan
norma-norma yang ada di dalam masyarakat.
Dewasa ini seringkali terjadi
perilaku menyimpang dalam hal pergaulan remaja sehari-hari baik itu dalam hal
berbicara, bertindak
seolah tidak ada aturan dalam masyarakat itu. Sebagai contoh di sini adalah mabuk-mabukan di pinggir jalan, yang tidak sepantasnya diperlihatkan di
muka umum, , merupakan fenomena atau hal baru bagi masyarakat khususnya di Desa
Simpang Tutup. Hal ini tentunya merupakan suatu masalah baru bagi masyarakat karena
tidak adanya kesesuaian antara adat, budaya, norma serta aturan main daerah itu
dengan adanya perkembangan zaman (trend) saat ini,
Singkatnya kurang
lebih setengah dari
jumlah remaja masa
kini sudah banyak
yang telah mencoba dan memakai lem banteng untuk mabuk-mabukan
dianggap abnormal jika
hal tersebut bersifat
self-defeating, menyimpang dari
norma sosial, menyakiti
orang lain, menyebabkan distress personal,
atau mempengaruhi kemampuan
seseorang untuk berfungsi secara normal (Nevid,Rathus &
Greene, 2003 : 74).
Dengan demikian,
kemajuan teknologi informasi yang disalahgunakan dan merebeknya paham kebebasan
yang dipahami secara serampangan akhirnya mengubah pola perilaku manusianya
memiliki kecenderungan untuk menyimpang dari nilai dan norma sosial yang ada.
(Kolip,2010:210).
Berdasarkan hasil observasi penelitian diperoleh
kesimpulan bahwa penyalah
gunaan lem banteng sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang dimiliki oleh remaja tersebut. Jadi
faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku
remaja dapat digolongkan menjadi 3 macam
yaitu:
a.
Faktor Individu
Yaitu
faktor yang berhubungan dengan remaja itu sendiri. Pelaku sulit menyesuaikan
diri atau proses adaptasi dengan perkembangan zaman dan susunan lingkungan
eksternal. Faktor individu juga berkaitan dengan kematangan faktor-faktor usia, kronologis, pengalaman sebelumnya,
kapasitas mental, kecerdasan emosional.
b.
Faktor Eksternal
Pengaruh
lingkungan tempat tinggal, teman serta pergaulan dan adanya ilmu pengetahuan
teknologi informasi dan komunikasi yang masuk ke ranah mereka.
c.
Ketidakharmonisan Dalam Keluarga
Ketidakharmonisan
dalam keluarga di dalam struktur keluarga biasanya anggota keluarganya saling
mempertahankan egonya masing-masing sebagai wujud merasa benar di antara mereka, sehingga banyak di antara
mereka mencari pelampiasan dengan melakukan tindakan penyimpangan.
Orang
tua juga kurang kontrol terhadap anak. Ada didikan orang tua yang keras
sehingga menyebabkan tekanan pskilogis anak merasa terganggu akibatnya jadi
pemalu, dengan kondisi yang seperti ini ketika ke luar melihat kenyataan di
luar dirinya sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan.
d.
Sikap Mental Yang Kurang Sehat
Yang
dimaksud dengan mental adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan jiwa,
kehendak, dan pikiran manusia. Sikap mental yang kurang sehat berarti keadaan
jiwa seseorang atau sekelompok orang yang tidak stabil sehingga berperilaku di
luar batas pemikiran manusia pada umumnya.
Berdasarkan uraian diatas, maka
disimpulkan bahwa anak sangat ditentukan oleh kontrol orang tua, pendekatan
terhadap anak, sosialisasi mengenai dunia luar. Hasil penelitian demikian
dinyatakan dalam bentuk angkah atau huruf. Perilaku menyimpang, penyalah gunaan lem banteng
tersebut dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor-faktor, baik yang berasal dari
dalam atau luar dirinya.
Berdasarkan penelitian relevan
diatas maka penelitian yang akan peneliti lakukan ini berbeda dengan penelitian
diatas, yang mana bedanya penelitian ini terfokus pada “Perilaku Menyimpang, Penyalah Gunaan Lem Banteng bagi Remaja
di Desa Simpang
Tutup
Kecamatan Gunung
Kerinci Kabupaten Kerinci.”
Permasalahan
demikian terlihat dari cara dia bergaul dan berinteraksi dengan orang lain, gaya
hidup, bertindak dan berperilaku dan sopan santun terhadap orang yang
semestinya diharhagai terutama pada orang tua, perilaku remaja yang meresahkan
masyarakat yang tentunya dapat mengganggu ketertiban dan ketengan masyarakat.
BAB III
BAB III
METODOLOGI
PENELITIAN
A.
Pendekatan Dan Tipe Penelitian
Penelitian atau research merupakan
“serangkaian kegiatan ilmiah dalam rangka pemecahan suatu permasalahan” (Azwar
2010:1). Berdasarkan jenis masalah yang diteliti dan tujuannya, penelitian ini
menggunakan metode kualitatif.
Bogdan dan Taylor (dalam Moleong 2005:
4) menyatakan bahwa :
penelitian
kualitatif adalah “prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa
kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.”
Alasan penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif karena permasalahan yang akan di bahas tidak akan
berkenaan dengan angka-angka, tetapi mendeskripsikan secara jelas, terperinci,
serta memperoleh data yang mendalam dari fokus penelitian.
19
|
Penelitian kualitatif selalu
berusaha mengungkap suatu masalah, keadaan atau peristiwa sebagaimana adanya.
Hasil penelitian diarahkan dan ditekankan pada upaya memberi gambaran
seobyektif dan sedetail mungkin tentang keadaan yang sebenarnya dari obyek
studi.
Moleong (2005: 6) menjelaskan bahwa
:
penelitian
kualitatif adalah “penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang
apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi,
tindakan, dan lain-lain secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk
kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan
memanfaatkan berbagai metode alamiah”.
Penelitian dengan rancangan studi
kasus dilakukan untuk memperoleh pengertian yang mendalam mengenai situasi dan
makna sesuatu/subyek yang diteliti (Alsa 2010 : 55).
B.
Informan
Penelitian
Informan adalah orang
yang dimanfaat untuk memberikan informasi situasi dan kondisi dalam penelitian.
Informasi dalam penelitian ini diambil dengan secara purposive sampling (penunjukan) yaitu menentukan sampel dengan
pertimbangan tertentu yang dipandang dapat memberikan data secara maksimal
(Arikunto, 2010:
33).
Dalam penelitian ini informan
ditetapkan subjek sesuai dengan karakteristik penelitian purposive sampling (penunjukan),
yaitu berdasarkan pertimbangan tertentu. Artinya hanya orang yang dianggap
paling tahu tentang masalah yang dikaji. Penetapan subjek yaitu dengan teknik
purposive sampling. Teknik purposive ini dilakukan dengan cara mengambil subjek
didasarkan atas adanya tujuan tertentu. Moleong (2005 : 97).
Adapun kriteria informan penelitian
ini antara lain: 1. Remaja, 2. Orang tua dan masyarakat setempat. Dalam hal ini
peneliti mengambil informan yaitu orang-orang yang dapat memberi informasi dan
data yang maksimal mengenai “Perilaku
Menyimpang,
Penyalah Gunaan Lem Banteng bagi Remaja
di
Desa Simpang
Tutup
Kecamatan Gunung
Kerinci Kabupaten Kerinci.”
C.
Jenis
Data
Data primer adalah data yang diperoleh atau
dikumpulkan oleh peneliti secara langsung dari sumber datanya. Data primer
disebut juga sebagai data asli atau data baru yang memiliki sifat up to date.
Untuk mendapatkan data primer, peneliti harus mengumpulkannya secara langsung.
Teknik yang dapat digunakan peneliti untuk mengumpulkan data primer
tentang “Perilaku
Menyimpang,
Penyalah Gunaan Lem Banteng bagi Remaja di Desa Simpang Tutup Kecamatan Gunung Kerinci Kabupaten Kerinci”.
dengan metode antara lain observasi, wawancara, serta dokumentasi.
Data Sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan peneliti dari
berbagai sumber yang telah ada (peneliti sebagai tangan kedua). Data sekunder
dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti data pemerintah
desa setempat.
D. Metode Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data dalam
penelitian ini digunakan teknik pangumpulan data dengan menggunakan:
1.
Wawancara
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu yang dilakukan dengan
kedua belah pihak yaitu, pewawancara (interviewer yang mengajukan pertanyaan dan
terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moleong,
2005:186).
Wawancara mendalam bersifat terbuka
dalam pelaksaannya dan tidak hanya mewawancarai satu kali saja tetapi
berulang-ulang dan mencek dalam kenyataan melalui pangamatan. Maksud mengadakan
wawancara seperti yang ditegaskan oleh Lincoln dan guba (1985) dalam Moleong,
2005:186. antara lain menkontruksi mengenai orang, kejadian, organisasi,
perasaan, motivasi, tuntunan, kepedulian.
2.
Observasi
Observasi adalah metode
pengukuran data dimana peneliti mencatat langsung pengalaman yang disaksikan
selama penelitian. Dalam hal ini panca indra manusia diperlukan untuk menangkap
gejala yang diamati. Apa yang di tangkap tadi, dicatat dan selanjutnya catatan
tersebut di analisis.
Observasi adalah suatu teknik
atau cara untuk mengumpulkan data di lapangan yang dilakukan dengan melihat dan
mengamati secara actual dan nyata. Observasi dilakukan dengan tujuan untuk
mendapatkan perilaku nyata yang wajar sehingga apa yang diharapkan dari tujuan
penelitian ini benar-benar secara
maksimal.(George Ritzer,
2009:62)
Metode observasi dalam penelitian ini dilakukan karena apa yang orang katakan
terkadang
berbeda
dengan
apa yang orang lakukan.
Metode ini diharapkan dapat membantu menemukan data maupun
sebagai
pembanding
dengan data yang telah
ada.
Observasi dan pengamatan lapangan ini dilakukan dengan cara melihat keadaan kehidupan masyarakat baik social dan perilakunya.
Selanjutnya tahap kedua adalah kritik sumber yakni merupakan tahap pengolahan data atau
menganalisis
sumber
informasi
baik internal maupun
eksternal
yaitu
dengan
cara
melakukan
pengujian
terhadap
keaslian
informasi.
3.
Dokumentasi
Metode dokumentasi adalah dokumen, yang artinya
barang-barang tertulis (Arikunto, 2002: 131). Dalam KBBI dokumentasi
didefinisikan sebagai pemberian atau pengumpulan bukti dan keterangan seperti
gambar, kutipan, guntingan koran, dan bahan referensi lain. Jadi dokumentasi
adalah metode pengumpulan data yang dilakukan melalui barang tertulis seperti :
catatan-catatan dokumen atau dokumen tertulis yang berkaitan dengan masalah
yang menjadi subyek penelitian peneliti. Metode ini digunakan
peneliti untuk memperoleh dokumen atau data yang ada di lapangan.
Selain itu, menurut
Bungin (2007:124) studi dokumen adalah suatu metode pengumpulan data yang
digunakan dalam metodologi penelitian sosial. Pada intinya studi dokumen adalah
metode yang digunakan untuk menelusuri data historis. Dengan demikian, pada
penelitian sejarah, maka dokumen memegang peranan amat penting. Walau metode
ini digunakan bayak digunakan pada penelitian ilmu sejarah, namun kemudian ilmu-ilmu sosial lain secara
serius menggunakan studi dokumen sebagai metode pengumpulan data.
Oleh karena sebenarnya
sejumlah besar fakta-fakta dan data sosial tersimpan dalam bahan yang berbentuk
dokumen. Di dalam melaksanakan studi dokumen, peneliti menyelidiki benda-benda
tertulis seperti buku-buku, majalah, dokumen, peraturan-peraturan, notulen
rapat, catatan harian, dan sebagainya.
E.
Unit
Analisis
Unit
analisis merupakan prosedur pengambilan sampel yang didalamnya mencakup
sampling dan satuan kajian. Tujuannya untuk merinci kekhususan yang ada dalam
ramuan konteks yang unik. Unit analisis dalam penelitian ini memfokuskan pada
penyalah gunaan lem banteng.
Sehubungan dengan penjelasan mengenai karakteristik unit analisis, Moleong
(2005 : 224) menjelaskan bahwa :
Sampling
digunakan untuk menjaring sebanyak mungkin informasi dari pelbagai macam sumber
dan bangunannya (constructions). Dengan demikian tujuannya bukanlah
memusatkan ke dalam generalisasi. Tujuannya adalah untuk merinci kekhususan
yang ada ke dalam ramuan konteks yang unik. Maksud kedua dari sampling ialah
menggali informasi yang akan menjadi dasar dari rancangan dan teori yang
muncul. Oleh sebab itu, pada penelitian kualitatif tidak ada sampel acak,
tetapi sampel bertujuan (purposive sample).
Selain
sampling juga terdapat satuan kajian, Moleong (2005 : 225) menjelaskan bahwa:
Satuan kajian
biasanya ditetapkan juga dalam rancangan penelitian. Keputusan tentang
penentuan sampel, besarnya dan strategi sampling pada dasarnya bergantung pada
penetapan satuan kajian. Kadang-kadang satuan kajian itu bersifat perseorangan
seperti siswa, klien, pasien yang menjadi satuan kajian. Bila seseorang itu
sudah ditetapkan sebagai satuan kajian, maka pengumpulan data dipusatkan
disekitarnya. Yang dikumpulkan ialah apa yang terjadi dalam kegiatannya, apa
yang mempengaruhinya, bagaimana sikapnya dan semacamnya.
Pada
penelitian ini yang menjadi unit analisis adalah perilaku meyimpang penyalah gunaan lem banteng bagi
remaja, sedangkan yang menjadi sub unit analisis adalah faktor perilaku
menyimpang. Narasumber primer dalam penelitian sebagai subjek utama penelitian,
dan orang yang terdekat serta yang mengikuti perkembangan narasumber primer
dijadikan sebagai narasumber sekunder. Melalui sub unit analisis tersebut akan
digali berbagai informasi yang berkaitan dengan perilaku menyimpang remaja.
Sedangkan
tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian studi kasus intrinsik yang
bertujuan untuk mempelajari secara intensif, mengetahui lebih dalam tentang “Perilaku Menyimpang, Penyalah Gunaan Lem Banteng bagi Remaja
di Desa Simpang
Tutup
Kecamatan Gunung
Kerinci Kabupaten Kerinci”.
F.
Analisis
data
Melakukan analisis berarti
melakukan kajian untuk memahami struktur suatu fenomena-fenomena yang ada di lapangan.
Analisis dilaksanakan dengan melakukan telaah terhadap fenomena atau peristiwa
secara keseluruhan, maupun terhadap bagian-bagian yang membentuk
fenomena-fenomena tersebut serta hubungan keterkaitannya. Dengan demikian, data
atau informasi yang dikumpulkan yang berhubungan dengan pertanyaan penelitian
akan dianalisis berupa pengelompokan dan pengkategorian data dalam aspek-aspek
yang telah ditentukan, hasil pengelompokan tersebut dihubungkan dengan data
yang lainnya untuk mendapatkan suatu kebenaran.
Dalam penelitian ini menggunakan
teknik analisis data yang dilakukan menurut model Miles dan Huberman melalui
langkah-langkah sebagai berikut : Bogdan dan Biklen yang dikutip oleh Moleong
(2005:248). Analisis data adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja
dengan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelolah,
mensintensiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan
apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang
lain. Menurut Seiddel yang dikutip oleh Moleong (2005:248). Proses analisis
data kualitatif berjalan dengan cara sebagai berikut :
Mencatat yang menghasilkan catatan
lapangan, dengan diberi kode agar sumber datanya tetap dapat ditelusuri. Mengumpulkan,
memilah-milah, mengklasifikasikan, mensintesiskan, membuat ikhtisar dan membuat
indeksnya.
Berpikir dengan jalan membuat agar
kategori data itu mempunyai makna, mencari dan menemukan pola dan
hubungan-hubungan, dan membuat temuan-temuan umum.
Setelah hasil penelitian telah
teruji kebenarannya maka peneliti menarik kesimpulan tentang “Perilaku
Menyimpang,
Penyalah Gunaan Lem Banteng bagi Remaja di Desa Simpang Tutup Kecamatan Gunung Kerinci Kabupaten Kerinci”.
dalam bentuk deskriptif sebagai laporan penelitian (Iskandar, 2009: 223)
G.
Lokasi
Penelitian
Karena topik terkait dengan
penelitian yang akan dikembangkan dalam ruang lingkup perilaku menyimpang, penyalah gunaan lem banteng,
maka penelitian ini akan direncanakan di Desa Simpang Tutup Kecamatan Gunung Kerinci Kabupaten Kerinci dengan alasan karena remaja di Desa Simpang tutup tersebut sudah tidak
lagi bertumpu pada nilai-nilai sosial, adat-istiadat, tatakrama serta
perilaku-perilaku yang meresahkan masyarakat, sehingga peneliti tertarik untuk
mengetahuinya secara mendalam.
H.
Jadwal
Penelitian
Setiap rancangan penelitian perlu
dilengkapi dengan jadwal kegiatan yang akan dilaksanakan. Dalam jadwal berisi
kegiatan apa saja yang akan dilakukan, dan berapa lama akan dilakukan
penelitian.
Jadwal penelitian dalam penelitian
ini dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut :
Jadwal
Penelitian
|
Bulan
|
|||||||||
Feb
|
Mar
|
Apr
|
Mei
|
Jun
|
Jul
|
Agus
|
Sep
|
Okt
|
Nov
|
|
Pengajuan
proposal
|
||||||||||
Pemberian SK
|
||||||||||
Bimbingan
|
||||||||||
Seminar
|
||||||||||
Penelitian
|
||||||||||
Bimbingan
|
||||||||||
Kompre
|
||||||||||
Bimbingan
|
||||||||||
Wisuda
|
Tabel 1.1. Deskripsi Jadwal
Penelitian
DAFTAR
PUSTAKA
BUKU-BUKU :
Agustiani,
Hendriati. 2006. Psikologi Perkembangan. Bandung: PT. Refika Aditama
Alsa, Asmadi. 2010. Pendekatan
Kuantitatif dan Kualitatif Serta Kombinasinya
Dalam Penelitian Psikologi. Yogyakarta :
PustakaBelajar.
Arikunto,
Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian
Suatu Pendekatan Praktek. Yogyakarta: Rineka Cipta
_______,
Suharmini. 2009. Psikologi Anak
Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta
: Kanwa Publisher
Azwar,
Syaifuddin. 2002. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta :
Pustaka Belajar.
Bogdan dan Taylor. 1992. Participan Observation In Organization
Setting. N.Y. Sup.
Bungin,
Burhan.
2003.
Metodologi
Penelitian Kualitatif. Jakarta : PT. Raja Persada.
Chaplin, J.P, 1981. Kamus
Lengkap Psikologi. (EdisiRevisi). Jakarta : PT Raja
Grafindo
Persada.
Gunarso, Singgih.1989. Perubahan Sosial dalam Masyarakat. Jakarta: Pusat antar Universitas
Ilmu-ilmu.
Hadisuprapto, Paulus.1989. Studi tentang makna
penyimpangan perilaku di kalangan remaja. Jakarta : Remaja Karya.
Hurlock, Elizabeth
B. 1980. Psikologi Perkembangan
: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan.
(EdisiKelima). Jakarta : Erlangga. .
Iskandar.
2009. Metodologi Penelitian Pendidikan
Dan Sosial. Jakarta: GP Pres.
Kartono, Kartini. 1998. Patologi sosial 2
Kenakalan Remaja. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Koentjaraningrat.
1977. Pengantar Antropologi Pokok-pokok Etnografi.
Jakarta : Rineka Cipta.
Kolip,
Usman. 2010. Pengantar Sosiologi
(Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial : Teori, Aplikasi dan Pemecahannya).
Bandung : Kecana Prenada Media Group.
Moleong,
Lexy. 2005. Meodologi Penelitian
Kualitatif. Bandung : Remaja Rosda.
_______.1989. Metodologi
Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Karya.
Nurseno. 2009. Sosiologi Pengantar.
Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
Poerwadaminta. 1995. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka.
Poloma, Margaret. M. 2003. Sosiologi
Kontemporer. Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada.
Seokanto,
Soerjono. 2010. Sosiologi Suatu Pengantar.
Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Soekanto, Soejono.
1996. Sosiologi Keluarga. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Devi,F.Tiara.
2013. Faktor-Faktor Penyebab Perilaku
Seksual Menyimpang Pada Remaja
Tunagrahita SLB N Semarang (Jurnal Psikologi
Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri
Semarang).
SKRIPSI
:
Paulus Hadisuprapto, 2004. Makna Penyimpangan Perilaku di Kalangan
Remaja.
Julianti
Siagian, 2012. Tinjauan Tentang Perilaku Menyimpang Remaja di Kelurahan Titi Rantai
Kecamatan Medan Baru Kota Medan.
INTERNET :
(http://www.pelita.or.id/baca.
php? id= 39750, diakses pada tanggal 02 April 2014 Pukul 22.40 Wib).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar